SASTRA

Jurnalistik

Pendidikan

Latest Updates

BNI, Bank Para Cendekia

Selasa, Mei 31, 2016
Banyak bank umum nasional dengan tawaran produk menarik, memang. Tak sedikit pula lembaga keuangan yang memiliki pelayanan berkelas hingga membuat nasabahnya bak raja. Tapi, saya memilih bersetia pada Bank Nasional Indonesia (BNI) 1946. Dan, Pengalaman Bersama BNI itu sudah mencapai 14 tahun. 

Ya, 14 tahun sudah saya menjadi nasabah Taplus BNI. Saya nyaris lupa berapa kali sudah berganti buku tabungan. Saya pun hampir tak ingat, berapa kali sudah mengganti kartu ATM BNI. 


Buku tabungan BNI Taplus dan ATM BNI yang saya miliki.
Namun, saya sedikit ingat, perjumpaan saya dengan BNI terjadi sekitar tahun 2002, dua tahun menjelang tamat dari bangku kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Bermula dari pengalaman membayar SPP kuliah saban semester melalui BNI, akhirnya saya memutuskan membuka rekening BNI saja. Kala tiba waktu membayar SPP, saya tinggal debet saja. 

Itulah kali pertama saya memiliki rekening di bank umum nasional. Sebelumnya, saya hanya memiliki rekening bank lokal. Maklum, kala itu kekhawatiran terhadap kebangkrutan sebuah bank seperti pernah terjadi kala krisis ekonomi tahun 1997 membiakkan trauma pada diri saya. Pilihan terhadap BNI pun dibayang-bayangi kekhawatiran semacam itu. Tapi, dalam pikiran saya saat itu, BNI relatif aman karena termasuk bank milik pemerintah. 

Ternyata, pilihan terhadap BNI tidak keliru. Malah, pada tahun-tahun kemudian, rekening BNI yang saya miliki menjelma berkah. Manakala melanjutkan kuliah S2 di Program Studi Magister Ilmu Linguistik Konsentrasi Wacana Sastra di Pascasarjana Universitas Udayana tahun 2008, rekening BNI saya benar-benar fungsional. Segala pembayaran SPP dan biaya perkuliahan di kampus ternyata melalui BNI. Tentu saja semua urusan pembayaran kuliah jadi kian mudah, makin cepat. 

Selain itu, kemudahan menjangkau kantor cabang dan ATM menjadi asalan saya memilih BNI. Tahun 2002, saya indekos di Jalan Kebo Iwa. Kala itu, BNI memiliki kantor cabang di Jalan Buluh Indah. ATM-nya juga banyak tersedia di kawasan Jalan Gatot Subroto Barat. 

Tak hanya itu, rekening BNI juga memiliki arti penting manakala saya menerima beasiswa Kajian Tradisi Lisan (KTL) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun kedua kuliah S2. Transfer dana beasiswa juga dilakukan melalui rekening BNI. 

Bukan hanya saya yang bersetia pada BNI, ternyata. Banyak teman sesama dosen, baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), juga sejak lama memiliki rekening BNI. Sebagian besar teman dosen di PTN memiliki rekening BNI karena gaji dan tunjangan mereka ditransfer melalui BNI. Sementara banyak teman dosen di PTS yang memiliki rekening BNI karena menerima tunjangan sertifikasi dosen dari pemerintah melalui BNI. 

"Kalau jadi dosen, ya, harus punya rekening BNI. Rekening BNI itu ibarat pundi wajib bagi dosen," kata Ida Ayu Agung Ekasriadi, salah seorang teman dosen di IKIP PGRI Bali. 

Saya pun mengalami hal itu pada tahun 2016 ini, manakala mulai menerima tunjangan sertifikasi dosen. Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VIII mensyaratkan kepemilikan rekening BNI bagi penerima tunjangan sertifikasi dosen. Ini rasa syukur berikutnya dari saya atas perjalanan panjang bersama BNI. 

Dana hibah penelitian yang kerap diperebutkan para dosen pun lebih sering disalurkan melalui BNI. Itu sebabnya, banyak dosen yang lebih memiliki rekening BNI. Teman-teman saya sesama dosen di IKIP PGRI Bali, sebagian besar memiliki rekening BNI. 

Para mahasiswa yang saya ajar pun tak sedikit yang memiliki rekening BNI tinimbang rekening bank lain. Alasannya tak jauh berbeda dengan saya: aktivitas pembayaran perkuliahan lebih sering melalui rekening BNI. Banyak lembaga pendidikan tinggi yang menjadikan BNI sebagai bank mitra untuk melayani pembayaran biaya pendidikan mahasiswanya. 

Tahun 2016 ini, saya juga mulai menempuh pendidikan S3 di Program Studi Doktor Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra di Pascasarjana Universitas Udayana. Biaya pendaftaran, SPP dan biaya-biaya lain juga dilayani melalui BNI. Lagi-lagi ini membuktikan pilihan menjadi nasabah BNI adalah pilihan tepat bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan. 

Itu sebabnya, tampaknya tak keliru jika saya sebut BNI sebagai "bank para cendekia", "bank orang-orang terpelajar", "bank kaum terdidik". Mereka yang sedang menempuh pendidikan, menjadi pendidik maupun tenaga kependidikan umumnya menjadi nasabah BNI. 

Produk-produk BNI juga dekat dengan bidang pendidikan. Tappenas BNI misalnya, cocok digunakan untuk menyiapkan tabungan pendidikan anak-anak. Belakangan ada Simpel (Simpanan Pelajar) yang menjadi program wajib bagi bank-bank nasional untuk mensosialisasikan kegiatan menabung bagi anak-anak sekolah. BNI juga memiliki Taplus Anak dan Taplus Muda yang memiliki sejumlah keunikan tersendiri dibandingkan produk-produk lainnya. Dalam layanan kredit, BNI juga memiliki kredit khusus biaya pendidikan. Namanya BNI Cerdas. 

Bukan hanya itu. BNI juga seringkali memanjakan nasabahnya melalui hadiah maupun promo pada momen tertentu. Menariknya, promo itu sangat dekat dengan kalangan terdidik. Rasa syukur saya bertambah sebagai nasabah BNI karena bank ini memberikan promo diskon 10% saat berbelanja buku di Toko Buku Gramedia menggunakan kartu debit BNI. Saya tergolong doyan berbelanja buku di Gramedia. Yang paling menggembirakan saat peringatan Hari Buku Nasional, 17 Mei 2016 lalu. Saya menerima pesan pendek (SMS) mengenai promo diskon 30% bagi pengguna kartu kredit atau debit BNI di Toko Buku Gramedia. Tepat di hari terakhir diskon, 19 Mei 2016, saya pun menyambangi Gramedia menuntaskan rencana membeli sejumlah buku untuk saya dan anak. Seharusnya saya membayar buku itu dengan harga total Rp 249.000, tapi karena menggunakan kartu debit BNI, saya hanya membaya Rp 174.500. Penghematan dari BNI yang patut disyukuri, tentu saja.  

Buku-buku yang saya beli di Gramedia dan bukti struk pembayaran via debet kartu Debit BNI
Lantaran berbagai keuntungan itu, kini saya sedang bersiap mengajukan aplikasi BNI Tappenas atau BNI Taplus Anak untuk kedua anak saya. Saya yakin di masa depan, biaya pendidikan akan makin mahal dan BNI bisa dijadikan sahabat tepat untuk merencanakan biaya pendidikan kedua anak saya. 

Kepercayaan kalangan terdidik Indonesia terhadap BNI 46 tampaknya tak lepas dari sejarah panjang BNI yang tahun ini memasuki usia 70 tahun: #70TahunBNI. Di mata nasabah, rekam jejak yang panjang tentu menjadi pertimbangan. Terlebih lagi BNI merupakan bank umum nasional pertama yang dimiliki pemerintah. Bahkan, hari kelahiran BNI pada 5 Juli 1946 diperingati sebagai Hari Bank Nasional. Unsur sejarah dan dukungan pemerintah tentu saja membuat para kaum cerdik-cendekia yakin menjadikan BNI sebagai sahabat mereka. 

Fakta tentang nasabah kaum cendekia, terpelajar atau terdidik selayaknya dibaca BNI sebagai keunggulan komparatif yang harus dipertahankan. BNI mesti menjaga kepercayaan para nasabah dari kelompok menengah ini. Caranya, mengintensifkan produk-produk khusus bagi kalangan pelajar, mahasiswa, guru, dosen maupun tenaga kependidikan. Jika itu dilakukan, BNI akan mengukuhkan citranya sebagai Bank Para Cendekia, Bank Kaum Terpelajar, Bank Golongan Terdidik. 

Selamat hari jadi ke-70 BNI 46. Jangan pernah lelah memberi yang terbaik pada Indonesia!


Sastrawan Kita Makin Tua Makin Jadi

Minggu, November 08, 2015
Sastrawan dari Singaraja, Bali, Sunaryono Basuki Ks menulis sebuah esai berjudul “Sastrawan Kita Semakin Tua” di DenPost, Minggu, 1 November 2015 laly. Dalam tulisan pendeknya itu, pengarang Bali Utara yang juga sudah semakin sepuh itu membeberkan sejumlah nama sastrawan yang kini usianya sudah memasuki kepala tujuh bahkan kepala delapan. Di antaranya, Taufik Ismail, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Moehamad. Bahkan, Sunaryono Basuki sendiri juga sudah semakin sepuh: 74 tahun.

Di Bali, selain Sunaryono, sejumlah sastrawan lansia yang masih terus menulis, misalnya, Ngurah Parsua dan Made Taro. Di jagat sastra Bali modern, Nyoman Manda masih menulis. 

Buku-buku novel karya pengarang lansia

Perihal usia sastrawan kita makin tua juga sempat disinggung dalam acara peluncuran buku novel Jejak-jejak Mimpi dan Keluarga Lara karya Frans Nadjira serta Magening karya I Wayan Jengki Sunarta di Bentara Budaya, Ketewel, Gianyar, Sabtu (31/10) lalu. Sebabnya, hari itu, Frans Nadjira yang novelnya diluncurkan juga tengah berusia lanjut: 73 tahun.

Sastrawan kita memang makin tua, tetapi mereka makin jadi, makin matang sebagai sastrawan. Justru, di usia tua, para sastrawan itu menunjukkan puncak kemampuannya dalam bersastra. Frans Nadjira meluncurkan dua novel sekaligus. Selain Frans Nadjira, pada tahun ini, sastrawan sepuh yang meluncurkan dua novel yakni Sapardi Djoko Damono yang kini berusia 75 tahun. Kedua novelnya, Keluarga Soekram dan Hujan Bulan Juni malah memberikan warna baru dalam sejarah sastra Indonesia modern karena menampilkan tema yang segar sekaligus mencoba gaya ungkap yang berbeda.

Sapardi sangat piawai menggedor kesadaran pembaca tentang relasi paling esensial pada dunia kepengarangan antara pengarang dan tokoh rekaannya dalam novel Trilogi Soekram. Begitu juga Hujan Bulan Juni yang memadukan teknik bercerita epik-lirik-dramatik sekaligus makin mengukuhkan Sapardi sebagai sastrawan berkelas yang tidak hanya piawai merajut kata dan makna di ruang ungkap terbatas (puisi dan cerpen) tetapi juga pada ruang ungkap yang lebih luas (novel).

Usia tua, bahkan sakit yang menjangkiti tidak malah melemahkan semangat mereka berkarya. Dalam tradisi bersastra, usia memang menjadi salah satu faktor penting. Seperti dikatakan Kurnia Efendi, usia tua seorang sastrawan bisa dianalogikan dengan kelapa yang makin tua juga makin banyak minyaknya. Seorang sastrawan yang makin tua tidak saja makin kaya pengalaman bersastra, tetapi juga mencapai kematangan dalam gaya ungkap.

Namun, Kurnia Efendi menilai, pelajaran penting bagi para pengarang muda yang bisa dipetik dari pengarang lansia yakni sikap rendah hati dan kesediaan serta kesetiaan berproses dengan sabar.

Memang, sastra bukanlah sesuatu yang bersifat instan apalagi pragmatis. Sastra berkaitan erat dengan pengalaman batin terdalam. Kesetiaan dan kesediaan melakukan kontemplasi, sabar dan tekun amat dibutuhkan. Seseorang tidak bisa menempuh jalan pintas untuk bisa dicatat sebagai sastrawan hebat. Bila pun ada sejatinya itu hanya kamuflase, kenikmatan sesaat yang menyesatkan. Pada akhirnya, waktu akan menunjukkan dengan jujur, mana bakat-bakat terbaik yang telah lulus dalam tempaan yang ketat sehingga pantas dicatat. Para pengarang yang memang memiliki bakat terbaik akan makin memesona karena puncak kepengarangannya makin jadi justru di usia tuanya. Itulah yang kini kita saksikan pada pengarang lansia semacam Sapardi, Goenawan, Taufik, Budi Darma, Frans Nadjira dan tentu saja Sunaryono Basuki Ks. (*)

Menimbang Jurnalisme Warga

Minggu, Juni 07, 2015
Jurnalisme warga kerap digunakan sebagai padanan istilah citizen journalism. Jurnalisme partisipatoris menjadi padanan yang lain, tapi istilah jurnalisme warga lebih berterima dan populer.

Jurnalisme warga diartikan sebagai tindakan warga dalam memainkan peran aktif dalam pengumpulan, pelaporan, analisa dan penyebarluasan berita atau informasi. Dalam jurnalisme warga, setiap orang adalah subjek sekaligus objek. Warga tidak hanya menjadi konsumen informasi tetapi juga produsen yang menggali, mengolah dan menyebarluaskan informasi itu.

Jurnalis profesional tengah mewawancarai narasumber. (Foto: sujaya)
Jurnalisme warga menarik perhatian karena menjadi semacam alternatif dari media arus utama. Informasi atau hal-hal kecil yang tidak diperhatikan media arus utama bisa ditemukan dalam jurnalisme warga. Begitu juga masalah-masalah publik yang karena kepentingan pemilik media atau tekanan penguasa enggan disentuh media arus utama bisa ditemukan dalam media-media yang mendedikasikan dirinya pada jurnalisme warga.

Dalam jurnalisme warga, pelaku-pelakunya disebut pewarta warga atau jurnalis warga. Landasan jurnalisme warga lebih kepada kepedulian dan kesadaran warga untuk terlibat aktif dalam menggali, mengolah, dan menyebarluaskan informasi.

Itu artinya, semua orang bisa menjadi pewarta warga. Pewarta warga tak mesti memiliki kartu pers atau pun bekerja di sebuah media yang mapan. Seorang pegawai atau pun petani bisa menjadi pewarta warga. Aktivitas sebagai pewarta warga pun bisa dilakoni tanpa mengesampingkan pekerjaan pokok.

Karena jurnalisme warga bisa ditulis semua orang, kualitas informasi memang menjadi tantangan terpenting pewarta warga. Banyak orang merasa ragu dengan karya para pewarta warga. Selalu muncul pertanyaan, apakah informasi yang disajikan pewarta warga itu benar, akurat, bisa dipercaya atau pun memenuhi aspek-aspek etika publik. Pasalnya, tak jarang informasi yang disajikan hanya gosip atau pun fakta yang belum lengkap sehingga justru menimbulkan keresahan.

Itu sebabnya, seorang pewarta warga sebaiknya memahami prinsip-prinsip dasar jurnalistik. Teladan jurnalisme Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel  merumuskan sembilan elemen dasar jurnalisme yang harus dipegang seorang wartawan. Sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan Kovach dan Rosenstiel ini menjadi semacam tuntunan profesional, moral dan etis seorang wartawan. Kerja wartawan memang tidak semata-mata menyangkut profesionalisme jurnalistik, tetapi juga tanggung jawab moral dan etis. Kovach menempatkan kebenaran pada kewajiban pertama wartawan dan loyalitas pertamanya diberikan kepada warga. Hal ini mencerminkan jurnalisme harus senantiasa mengabdi pada kebenaran dan melayani kepentingan publik.

Priambodo RH dari Lembaga Pers Dr. Sutomo menyatakan jurnalisme warga di Indonesia baru seumur kepompong, belum menjadi kupu-kupu. Karena itu, dibutuhkan pembelajaran terus-menerus agar karya-karya jurnalis warga bisa diakui dan disejajarkan dengan karya-karya jurnalis profesional.

Priambodo merumuskan 10 panduan bagi pewarta warga: tidak boleh plagiat, harus  cek dan cek kembali fakta, jangan menggunakan sumber anonim, perhatikan dan peduli hukum, utarakan rahasia secara hati-hati, hati-hati dengan opini narasumber, pelajari batas daya ingatan orang, hindari konflik kepentingan, dilarang melakukan pelecehan, pertimbangkan setiap pendapat.


Pewarta warga hendaknya juga menggunakan rambu-rambu itu sebagai pegangan dalam menulis beritanya. Dengan begitu, karya mereka diakui kredibilitasnya dan sejajar dengan karya jurnalis profesional. (*)

Jejak Sang Penjaga Rumah Imajinasi Anak-anak Bali

Minggu, Desember 07, 2014
Judul Buku             : Made Taro Mendongeng dan Bermain Sepanjang Waktu
Penulis                        : I Gusti Made Dwi Guna
Penerbit                  : Media Kreativa bekerja sama dengan Pustaka JBS Yogyakarta
Tahun                         : 2014
Jumlah Halaman       : 152 halaman

Sosok Made Taro dikenal sebagai pendongeng asal Bali yang terus berkiprah hingga kini. Meski usianya sudah memasuki 75 tahun, lelaki kelahiran Desa Sengkidu, Karangasem ini tidak terlihat melemah semangatnya mendongeng. Selain mendongeng secara lisan di berbagai kegiatan, Made Taro juga secara mandiri mengumpulkan dan menerbitkan dongeng-dongeng Bali maupun dongeng-dongeng dari berbagai daerah dan negara lain. Karena itu, amat wajar jika Made Taro mendapat Maestro Seni Tradisi Lisan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2008 dan Anugerah Kebudayaan dari Presiden RI tahun 2009.

Meski memiliki kiprah yang monumental dalam menjaga rumah imajinasi anak-anak Bali, tak banyak yang mengenal kehidupan Made Taro secara mendalam. Itu sebabnya, kehadiran buku biografi Made Taro ini menjawab kerinduan banyak kalangan yang ingin tahu lebih intim sosok seorang Made Taro.

Buku yang ditulis I Gusti Made Dwi Guna terbilang cukup detail mengungkap jejak kehidupan Made Taro, terutama dari perspektif kiprahnya di dunia dongeng. Mulai dari sejarah nama Made Taro yang unik, perjuangan mendirikan Rumah Dongeng yang berkembang menjadi Sanggar Kukuruyuk hingga perjalanannya memperkenalkan kesenian cungklik di Australia.

Namun, tetap saja ada ruang kosong dari buku ini. Pahit getir pengalaman Made Taro menerbitkan sendiri buku-buku dongengnya –dengan biaya sendiri serta memasarkannya juga sendiri—luput dari amatan penulis buku ini. Padahal, justru bagian ini menjadi penting karena menunjukkan keikhlasan seorang Made Taro menjaga dunia dongeng. Tak hanya itu, mungkin karena lebih fokus pada dunia dongeng, biografi ini tidak memberi ruang pada jejak Made Taro di dunia sastra. Selain pendongeng, Made Taro juga seorang sastrawan Indonesia modern dan sastrawan Bali modern yang diakui kualitas karya-karyanya. Dia juga pernah menjadi redaktur cerpen di Bali Post Minggu.

Ruang-ruang kosong itu tentu sebuah kelemahan bagi buku ini. Namun, ruang-ruang kosong itu juga merupakan kesempatan bagi penulis lain untuk mengisinya dengan menulis kembali biografi seorang Made Taro yang lebih komperehensif. (*)

Cerdas Siapkan Dana Pendidikan Anak

Minggu, April 28, 2013
Biaya pendidikan di Indonesia senantiasa meningkat setiap saat. Itu sebabnya, dibutuhkan upaya yang terencana untuk menyiapkan biaya pendidikan anak-anak. Bagaimana menyiapkan biaya pendidikan anak Anda agar ketika si anak memasuki usia sekolah, Anda tidak terlalu terbebani? Berikut tipsnya.

1. Siapkan Anggaran Pendidikan Sedini Mungkin
Anda sebaiknya tidak menunda menyiapkan dana pendidikan  anak Anda. Begitu si kecil sudah memasuki usia 1 tahun, sebaiknya Anda sudah meyiapkan anggaran tabungan pendidikan anak Anda. Pasalnya, tiga tahun kemudian, pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) sudah menunggu anak Anda. Jika Anda sudah mulai merancang biaya pendidikan anak Anda sejak dini, Anda akan memiliki cukup waktu untuk dan cukup dana dalam tabungan untuk kepentingan biaya pendidikan anak Anda.

(Repro)


2. Pisahkan Anggaran Pendidikan dengan Anggaran Lain
Anggaran pendidikan anak Anda haruslah dibuat khusus, terpisah dengan pos anggaran lain. Anda pun harus disiplin, jangan tergoda untuk memanfaatkan dana pendidikan anak untuk kepentingan lain di luar kebutuhan pendidikan anak. Jika Anda memiliki anak lebih dari satu, maka sebaiknya anggaran pendidikan dipisah untuk masing-masing anak.

3. Buat Prediksi tapi Realistis
Anda disarankan membuat prediksi mengenai kebutuhan biaya pendidikan anak Anda. Biasanya, biaya pendidikan meningkat rata-rata 10-20% per tahun. Anda bisa menjadikan biaya pendidikan saat ini sebagai patokan dengan memperhitungkan kemugkinan kenaikan 20-30% saat dana itu dibutuhkan. Anda mesti membuat prediksi lebih tinggi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk terjadinya peningkatan biaya pendidikan di luar prediksi Anda. Kendati begitu, Anda juga tetap harus realistis. Anda jangan terlalu memaksakan diri menyekolahkan anak di sekolah favorit jika memang kemampuan Anda terbatas. Penyisihan dana pendidikan tidak boleh sampai membuat Anda kelaparan.

4. Proporsi Ideal Penyisihan Dana
Idealnya, Anda bisa menyisihkan 20% dari penghasilan Anda dan istri Anda setiap bulan untuk ditabung. Mengapa mesti 20%? Rinciannya: 5% untuk arus kas keuangan keluarga (misalnya, untuk biaya pengobatan anak ketika sakit); 10% untuk tabungan jangka panjang (dana pendidikan, renovasi rumah dan lainnya); serta 5% untuk investasi.

5. Buat Skala Prioritas Kebutuhan
Membuat skala prioritas kebutuhan sangat penting artinya jika kebutuhan hidup Anda sangat banyak dan kemampuan Anda terbatas. Kebutuhan yang bersifat tambahan, bisa Anda sisihkan dulu agar Anda tetap bisa menyisihkan dana pendidikan untuk anak Anda.

6. Memilih Program Penyimpan Dana Pendidikan yang Tepat.

Ada berbagai program penyimpanan dana pendidikan yang ditawarkan berbagai lembaga keuangan. Ada yang berupa tabungan pendidikan atau pun asuransi. Anda perlu mempelajari berbagai produk itu dan pilih yang benar-benar tepat bagi kebutuhan Anda. Produk yang dipilih bisa dalam bentuk tabungan, asuransi atau pun investasi reksa dana. (*)

Membaca Dahulu, Mengarang Kemudian

Selasa, Maret 08, 2011

Catatan I Made Sujaya

KEGELISAHAN
soal guru mata ajar bahasa dan sastra Indonesia sejatinya bukanlah hal yang baru. Keluhan ini sudah sejak lama mengada, tak hanya karena sangat sedikit dari guru mata ajar ini yang tidak suka menulis, juga tidak memiliki minat yang menggembirakan dalam dunia sastra. Kenyataannya, pola ajar mereka lebih terpusat kepada masalah tata bahasa, sementara sastra yang lebih memberi peluang untuk memantik rasa, batin dan nurani agak terabaikan. Kondisi inilah kemudian melahirkan pemikiran untuk memisahkan saja mata ajar bahasa dan sastra, sehingga kedua bidang ini mendapat perhatian yang seimbang dan proporsional.
Pemisahan bidang dalam mata ajar bahasa dan sastra Indonesia memang tak sampai menjadi kenyataan. Namun, salah satu harapan soal pelajaran mengarang sedikit diakomodasi. Ujian mengarang kini telah menjadi salah satu kewajiban penting yang mesti ditempuh siswa.
Namun, dari diskusi seputar pelajaran mengarang yang tergelar di halaman ini sama sekali belum menyentuh budaya membaca. Padahal, membaca merupakan faktor amat penting bagi sebuah keterampilan mengarang atau menulis. Meminjam istilah Taufik Ismail, membaca dan mengarang atau menulis merupakan ‘’kakak-adik kandung yang tak terpisahkan’’.
Bila memang ingin menumbuhkan budaya mengarang di kalangan siswa, maka mulailah dengan memupuk kebiasaan mereka membaca. Amatlah mustahil, seorang siswa diharapkan bisa mengarang hebat sementara dia tak pernah membaca. Lantaran, dari membacalah siswa bisa menggali banyak bahan yang bisa ditulisnya. Pengalaman empiris yang diselaminya lebih bersifat memberi ‘’jiwa’’ tulisan atau karangannya itu.
Sampai di sini, mau tidak mau kita mesti menengok kondisi budaya membaca di kalangan bangsa kita, khususnya di kalangan pelajar. Untuk mendapatkan gambaran kondisi budaya baca itu, menarik untuk melihat perbandingan data yang dipaparkan Taufik Ismail dalam makalahnya berjudul ‘’Dari Kupu-kupu di dalam Buku, sampai Menanam Bibit Hutan Jati’’ yang disampaikan dalam Prakongres Kebudyaan V di Denpasar 28-30 April lalu.
Di Amerika Serikat (AS), disebutkan Taufik, rata-rata tamatan SMU membaca 32 judul buku sastra. Di Malaysia, seorang siswa SMU sebelum tamat wajib membaca 12 novel, 18 cerita pendek, 8 drama, 18 puisi modern, dan 18 puisi tradisional. Dibandingkan dengan siswa kedua negara itu (dengan syarat serupa yaitu buku sastra itu disebut di kurikulum, disediakan di perpustakaan, siswa menulis mengenai buku itu dan akhirnya diujikan), maka menurut Taufik tamatan SMU di negeri kita membaca nol buku.
Mungkin, gambaran data yang ditampilkan Taufik terlalu skeptis. Namun, kita memang tidak sepenuhnya bisa membantah betapa kuantitas buku-buku sastra yang dibaca siswa kita masih sangat jauh dibandingkan kedua negara yang dicontohkan itu. Memang, siswa SMU di Indonesia memiliki pengetahuan sastra. Mereka mengenal beberapa keping puisi-puisi Chairil Anwar, tahu alur dan jalan cerita novel Siti Nurbaya atau dengan fasih bisa menyebutkan termasuk angkatan berapa pengarang Sutan takdir Alisjahbana. Namun, bila kita hendak bertanya sejauh mana mereka diberikan kesempatan untuk menikmati, membaca secara utuh novel atau buku puisi, kita mesti rela menelan kekecewaan. Yang diajarkan selama ini adalah pengetahuan sastra, bukan memberikan ruang kepada siswa untuk menikmati dan menyelami sebuah karya sastra secara utuh. Sementara hakikat karya sastra adalah menyucikan batin manusia sehingga dia bisa menyelami alam kemanusiaannya yang paling dasar.
Maka, tidaklah keliru ketika muncul kasus mahasiswa jurusan Sastra Indonesia yang belum pernah sekali pun membaca sebuah buku novel secara utuh. Dia hanya tahu jalan cerita Belenggu, tahu tokoh-okohnya karena ketika gurunya menyuruh membuat sinopsis, dia tinggal menjiplak sinopsis kakak-kakak kelasnya. Kondisi ini berimplikasi serius ketika sang mahasiswa itu menyusun proposal penelitian untuk skripsi. Karena tak pernah bergaul dengan karya-karya sastra, mereka jadi gugup dan akhirnya gagap. Membaca sebuah novel yang bakal dijadikan objek penelitian, dia malah kebingungan, tak menemukan masalah sama sekali.
Karena itu, sekali lagi, bila memang guru ingin menumbuhkan keterampilan mengarang aau menulis siswa, apalagi kini sudah menjadi bagian penting yang wajib dimiliki siswa, seyogyanya guru mendorong agar siswa gemar membaca dulu, terutama karya sastra. Janganlah dulu berpikir ingin menyamai jumlah buku yang wajib dibaca di AS dan Malaysia, mungkin kita bisa memakai ukuran siswa diwajibkan dalam tiap semester membaca satu novel, tiga buah puisi modern, dua buah puisi tradisional, satu buah drama dan dua buah cerpen. Bacaan wajib itu kemudian diujikan secara proporsional untuk menumbuhkan wawasan sastra siswa.
Upaya semacam itu memang akan berhadapan dengan kondisi perpustakaan sekolah yang masih belum representatif terutama di sekolah-sekolah pinggiran. Kendala itu bisa ditanggulangi dengan menempuh cara mewajibkan siswa yang akan tamat untuk menyumbangkan sebuah novel, sebuah buku kumpulan puisi, buku kumpulan cerpen atau pun buku drama. Dengan begitu, setiap tahun perpustakaan sekolah akan memiliki tambahan koleksi.
Bila pun upaya itu masih sulit dilakukan, bisa ditempuh dengan cara yang amat minimal. Saya memakai ilustrasi pengalaman saya sendiri ketika masih duduk di bangku SLTP. Saya masih ingat betul, guru bahasa dan sastra Indonesia di sekolah saya (SLTP 1 Dawan, Klungkung) mewajibkan seluruh siswa untuk minimal meminjam sebuah buku di perpustakaan dalam tiap semester. Bagi yang tidak memenuhi kewajiban ini, saat penerimaan raport terpaksa raportnya ditahan dulu, sementara yang paling banyak meminjam buku diberikan hadiah.
Saya tak tahu, apakah ‘’gerakan’’ itu masih dilanjutkan kini di sekolah saya atau tidak. Namun, agaknya langkah terakhir ini tidak terlalu sulit dilaksanakan. Bila ingin memperkuat motivasi siswa agar mereka meminjam buku tak sekadar memenuhi kewajiban, barangkali bisa dirangsang dengan kewajiban mereka untuk meresensi buku yang dipinjamnya. Resensi mereka itu kemudian dinilai dan pada saat pembagian raport resensi terbaik diumumkan dan diberikan hadiah khusus.
Intinya, memang harus ada inovasi dari guru bahasa dan sastra Indonesia sendiri untuk mendekatkan siswa dengan budaya membaca. Lebih penting dari semua itu adalah komitmen diri. Jika sudah punya komitmen dan inovatif, kendala apa yang menghadang misalnya masalah tuntutan kurikulum bisa disiasati. Bukankah kurikulum sendiri menganjurkan guru untuk berkreasi dan berinovasi?
 
Copyright © gubuk sujaya. Designed by OddThemes