Penulis :
I Gusti Made Dwi Guna
Penerbit :
Media Kreativa bekerja sama dengan Pustaka JBS Yogyakarta
Tahun :
2014
Jumlah Halaman :
152 halaman
Sosok Made Taro
dikenal sebagai pendongeng asal Bali yang terus berkiprah hingga kini. Meski
usianya sudah memasuki 75 tahun, lelaki kelahiran Desa Sengkidu, Karangasem ini
tidak terlihat melemah semangatnya mendongeng. Selain mendongeng secara lisan
di berbagai kegiatan, Made Taro juga secara mandiri mengumpulkan dan
menerbitkan dongeng-dongeng Bali maupun dongeng-dongeng dari berbagai daerah
dan negara lain. Karena itu, amat wajar jika Made Taro mendapat Maestro Seni
Tradisi Lisan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2008 dan Anugerah
Kebudayaan dari Presiden RI tahun 2009.
Meski memiliki
kiprah yang monumental dalam menjaga rumah imajinasi anak-anak Bali, tak banyak
yang mengenal kehidupan Made Taro secara mendalam. Itu sebabnya, kehadiran buku
biografi Made Taro ini menjawab kerinduan banyak kalangan yang ingin tahu lebih
intim sosok seorang Made Taro.
Buku yang
ditulis I Gusti Made Dwi Guna terbilang cukup detail mengungkap jejak kehidupan
Made Taro, terutama dari perspektif kiprahnya di dunia dongeng. Mulai dari sejarah
nama Made Taro yang unik, perjuangan mendirikan Rumah Dongeng yang berkembang
menjadi Sanggar Kukuruyuk hingga perjalanannya memperkenalkan kesenian cungklik
di Australia.
Namun, tetap
saja ada ruang kosong dari buku ini. Pahit getir pengalaman Made Taro
menerbitkan sendiri buku-buku dongengnya –dengan biaya sendiri serta
memasarkannya juga sendiri—luput dari amatan penulis buku ini. Padahal, justru
bagian ini menjadi penting karena menunjukkan keikhlasan seorang Made Taro
menjaga dunia dongeng. Tak hanya itu, mungkin karena lebih fokus pada dunia
dongeng, biografi ini tidak memberi ruang pada jejak Made Taro di dunia sastra.
Selain pendongeng, Made Taro juga seorang sastrawan Indonesia modern dan
sastrawan Bali modern yang diakui kualitas karya-karyanya. Dia juga pernah
menjadi redaktur cerpen di Bali Post
Minggu.
Ruang-ruang kosong itu tentu sebuah kelemahan
bagi buku ini. Namun, ruang-ruang kosong itu juga merupakan kesempatan bagi
penulis lain untuk mengisinya dengan menulis kembali biografi seorang Made Taro
yang lebih komperehensif. (*)
Posting Komentar