Membaca Dahulu, Mengarang Kemudian


Catatan I Made Sujaya

KEGELISAHAN
soal guru mata ajar bahasa dan sastra Indonesia sejatinya bukanlah hal yang baru. Keluhan ini sudah sejak lama mengada, tak hanya karena sangat sedikit dari guru mata ajar ini yang tidak suka menulis, juga tidak memiliki minat yang menggembirakan dalam dunia sastra. Kenyataannya, pola ajar mereka lebih terpusat kepada masalah tata bahasa, sementara sastra yang lebih memberi peluang untuk memantik rasa, batin dan nurani agak terabaikan. Kondisi inilah kemudian melahirkan pemikiran untuk memisahkan saja mata ajar bahasa dan sastra, sehingga kedua bidang ini mendapat perhatian yang seimbang dan proporsional.
Pemisahan bidang dalam mata ajar bahasa dan sastra Indonesia memang tak sampai menjadi kenyataan. Namun, salah satu harapan soal pelajaran mengarang sedikit diakomodasi. Ujian mengarang kini telah menjadi salah satu kewajiban penting yang mesti ditempuh siswa.
Namun, dari diskusi seputar pelajaran mengarang yang tergelar di halaman ini sama sekali belum menyentuh budaya membaca. Padahal, membaca merupakan faktor amat penting bagi sebuah keterampilan mengarang atau menulis. Meminjam istilah Taufik Ismail, membaca dan mengarang atau menulis merupakan ‘’kakak-adik kandung yang tak terpisahkan’’.
Bila memang ingin menumbuhkan budaya mengarang di kalangan siswa, maka mulailah dengan memupuk kebiasaan mereka membaca. Amatlah mustahil, seorang siswa diharapkan bisa mengarang hebat sementara dia tak pernah membaca. Lantaran, dari membacalah siswa bisa menggali banyak bahan yang bisa ditulisnya. Pengalaman empiris yang diselaminya lebih bersifat memberi ‘’jiwa’’ tulisan atau karangannya itu.
Sampai di sini, mau tidak mau kita mesti menengok kondisi budaya membaca di kalangan bangsa kita, khususnya di kalangan pelajar. Untuk mendapatkan gambaran kondisi budaya baca itu, menarik untuk melihat perbandingan data yang dipaparkan Taufik Ismail dalam makalahnya berjudul ‘’Dari Kupu-kupu di dalam Buku, sampai Menanam Bibit Hutan Jati’’ yang disampaikan dalam Prakongres Kebudyaan V di Denpasar 28-30 April lalu.
Di Amerika Serikat (AS), disebutkan Taufik, rata-rata tamatan SMU membaca 32 judul buku sastra. Di Malaysia, seorang siswa SMU sebelum tamat wajib membaca 12 novel, 18 cerita pendek, 8 drama, 18 puisi modern, dan 18 puisi tradisional. Dibandingkan dengan siswa kedua negara itu (dengan syarat serupa yaitu buku sastra itu disebut di kurikulum, disediakan di perpustakaan, siswa menulis mengenai buku itu dan akhirnya diujikan), maka menurut Taufik tamatan SMU di negeri kita membaca nol buku.
Mungkin, gambaran data yang ditampilkan Taufik terlalu skeptis. Namun, kita memang tidak sepenuhnya bisa membantah betapa kuantitas buku-buku sastra yang dibaca siswa kita masih sangat jauh dibandingkan kedua negara yang dicontohkan itu. Memang, siswa SMU di Indonesia memiliki pengetahuan sastra. Mereka mengenal beberapa keping puisi-puisi Chairil Anwar, tahu alur dan jalan cerita novel Siti Nurbaya atau dengan fasih bisa menyebutkan termasuk angkatan berapa pengarang Sutan takdir Alisjahbana. Namun, bila kita hendak bertanya sejauh mana mereka diberikan kesempatan untuk menikmati, membaca secara utuh novel atau buku puisi, kita mesti rela menelan kekecewaan. Yang diajarkan selama ini adalah pengetahuan sastra, bukan memberikan ruang kepada siswa untuk menikmati dan menyelami sebuah karya sastra secara utuh. Sementara hakikat karya sastra adalah menyucikan batin manusia sehingga dia bisa menyelami alam kemanusiaannya yang paling dasar.
Maka, tidaklah keliru ketika muncul kasus mahasiswa jurusan Sastra Indonesia yang belum pernah sekali pun membaca sebuah buku novel secara utuh. Dia hanya tahu jalan cerita Belenggu, tahu tokoh-okohnya karena ketika gurunya menyuruh membuat sinopsis, dia tinggal menjiplak sinopsis kakak-kakak kelasnya. Kondisi ini berimplikasi serius ketika sang mahasiswa itu menyusun proposal penelitian untuk skripsi. Karena tak pernah bergaul dengan karya-karya sastra, mereka jadi gugup dan akhirnya gagap. Membaca sebuah novel yang bakal dijadikan objek penelitian, dia malah kebingungan, tak menemukan masalah sama sekali.
Karena itu, sekali lagi, bila memang guru ingin menumbuhkan keterampilan mengarang aau menulis siswa, apalagi kini sudah menjadi bagian penting yang wajib dimiliki siswa, seyogyanya guru mendorong agar siswa gemar membaca dulu, terutama karya sastra. Janganlah dulu berpikir ingin menyamai jumlah buku yang wajib dibaca di AS dan Malaysia, mungkin kita bisa memakai ukuran siswa diwajibkan dalam tiap semester membaca satu novel, tiga buah puisi modern, dua buah puisi tradisional, satu buah drama dan dua buah cerpen. Bacaan wajib itu kemudian diujikan secara proporsional untuk menumbuhkan wawasan sastra siswa.
Upaya semacam itu memang akan berhadapan dengan kondisi perpustakaan sekolah yang masih belum representatif terutama di sekolah-sekolah pinggiran. Kendala itu bisa ditanggulangi dengan menempuh cara mewajibkan siswa yang akan tamat untuk menyumbangkan sebuah novel, sebuah buku kumpulan puisi, buku kumpulan cerpen atau pun buku drama. Dengan begitu, setiap tahun perpustakaan sekolah akan memiliki tambahan koleksi.
Bila pun upaya itu masih sulit dilakukan, bisa ditempuh dengan cara yang amat minimal. Saya memakai ilustrasi pengalaman saya sendiri ketika masih duduk di bangku SLTP. Saya masih ingat betul, guru bahasa dan sastra Indonesia di sekolah saya (SLTP 1 Dawan, Klungkung) mewajibkan seluruh siswa untuk minimal meminjam sebuah buku di perpustakaan dalam tiap semester. Bagi yang tidak memenuhi kewajiban ini, saat penerimaan raport terpaksa raportnya ditahan dulu, sementara yang paling banyak meminjam buku diberikan hadiah.
Saya tak tahu, apakah ‘’gerakan’’ itu masih dilanjutkan kini di sekolah saya atau tidak. Namun, agaknya langkah terakhir ini tidak terlalu sulit dilaksanakan. Bila ingin memperkuat motivasi siswa agar mereka meminjam buku tak sekadar memenuhi kewajiban, barangkali bisa dirangsang dengan kewajiban mereka untuk meresensi buku yang dipinjamnya. Resensi mereka itu kemudian dinilai dan pada saat pembagian raport resensi terbaik diumumkan dan diberikan hadiah khusus.
Intinya, memang harus ada inovasi dari guru bahasa dan sastra Indonesia sendiri untuk mendekatkan siswa dengan budaya membaca. Lebih penting dari semua itu adalah komitmen diri. Jika sudah punya komitmen dan inovatif, kendala apa yang menghadang misalnya masalah tuntutan kurikulum bisa disiasati. Bukankah kurikulum sendiri menganjurkan guru untuk berkreasi dan berinovasi?

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © gubuk sujaya. Designed by OddThemes