Sastrawan dari Singaraja, Bali, Sunaryono
Basuki Ks menulis sebuah esai berjudul “Sastrawan Kita Semakin Tua” di DenPost, Minggu, 1 November 2015 laly. Dalam tulisan pendeknya itu, pengarang Bali Utara yang juga sudah
semakin sepuh itu membeberkan sejumlah nama sastrawan yang kini usianya sudah
memasuki kepala tujuh bahkan kepala delapan. Di antaranya, Taufik Ismail, Budi
Darma, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Moehamad. Bahkan, Sunaryono Basuki
sendiri juga sudah semakin sepuh: 74 tahun.
Di Bali, selain Sunaryono, sejumlah
sastrawan lansia yang masih terus menulis, misalnya, Ngurah Parsua dan Made
Taro. Di jagat sastra Bali modern, Nyoman Manda masih menulis.
![]() |
Buku-buku novel karya pengarang lansia |
Perihal usia sastrawan kita makin tua juga
sempat disinggung dalam acara peluncuran buku novel Jejak-jejak Mimpi dan Keluarga
Lara karya Frans Nadjira serta Magening
karya I Wayan Jengki Sunarta di Bentara Budaya, Ketewel, Gianyar, Sabtu (31/10)
lalu. Sebabnya, hari itu, Frans Nadjira yang novelnya diluncurkan juga tengah
berusia lanjut: 73 tahun.
Sastrawan kita memang makin tua, tetapi
mereka makin jadi, makin matang sebagai sastrawan. Justru, di usia tua, para
sastrawan itu menunjukkan puncak kemampuannya dalam bersastra. Frans Nadjira
meluncurkan dua novel sekaligus. Selain Frans Nadjira, pada tahun ini,
sastrawan sepuh yang meluncurkan dua novel yakni Sapardi Djoko Damono yang kini
berusia 75 tahun. Kedua novelnya, Keluarga
Soekram dan Hujan Bulan Juni
malah memberikan warna baru dalam sejarah sastra Indonesia modern karena
menampilkan tema yang segar sekaligus mencoba gaya ungkap yang berbeda.
Sapardi sangat piawai menggedor kesadaran
pembaca tentang relasi paling esensial pada dunia kepengarangan antara
pengarang dan tokoh rekaannya dalam novel Trilogi
Soekram. Begitu juga Hujan Bulan Juni
yang memadukan teknik bercerita epik-lirik-dramatik sekaligus makin mengukuhkan
Sapardi sebagai sastrawan berkelas yang tidak hanya piawai merajut kata dan
makna di ruang ungkap terbatas (puisi dan cerpen) tetapi juga pada ruang ungkap
yang lebih luas (novel).
Usia tua, bahkan sakit yang menjangkiti
tidak malah melemahkan semangat mereka berkarya. Dalam tradisi bersastra, usia
memang menjadi salah satu faktor penting. Seperti dikatakan Kurnia Efendi, usia
tua seorang sastrawan bisa dianalogikan dengan kelapa yang makin tua juga makin
banyak minyaknya. Seorang sastrawan yang makin tua tidak saja makin kaya
pengalaman bersastra, tetapi juga mencapai kematangan dalam gaya ungkap.
Namun, Kurnia Efendi menilai, pelajaran
penting bagi para pengarang muda yang bisa dipetik dari pengarang lansia yakni
sikap rendah hati dan kesediaan serta kesetiaan berproses dengan sabar.
Memang, sastra bukanlah sesuatu yang bersifat
instan apalagi pragmatis. Sastra berkaitan erat dengan pengalaman batin
terdalam. Kesetiaan dan kesediaan melakukan kontemplasi, sabar dan tekun amat
dibutuhkan. Seseorang tidak bisa menempuh jalan pintas untuk bisa dicatat
sebagai sastrawan hebat. Bila pun ada sejatinya itu hanya kamuflase, kenikmatan
sesaat yang menyesatkan. Pada akhirnya, waktu akan menunjukkan dengan jujur,
mana bakat-bakat terbaik yang telah lulus dalam tempaan yang ketat sehingga
pantas dicatat. Para pengarang yang memang memiliki bakat terbaik akan makin
memesona karena puncak kepengarangannya makin jadi justru di usia tuanya.
Itulah yang kini kita saksikan pada pengarang lansia semacam Sapardi, Goenawan,
Taufik, Budi Darma, Frans Nadjira dan tentu saja Sunaryono Basuki Ks. (*)
Posting Komentar